Sabtu, Agustus 29

Tak Ada Rindu

sisa hujan sore tadi
bertalu di antara dedaunan basah
di langit bulan bergerak-gerak membuat bayangan
peri-peri dari negeri lelembut

tak ada kerinduan yang dapat diterjemahkan kedalam buku-buku
sepi menjadi dirinya sendiri dan enggan mengisi kesendirianku

aku disibukkan mimpi-mimpi patah
kenangan yang membaca gerimis
membuatku berseru

o, gerimis penuh
apakah kau merasakan jiwa
tanpa rindu terkapar
tidak dimengerti siapapun
aku menginginkan wajahku
tenggelam dalam. sedalam-dalamnya

ada baiknya rindu selalu memburu
agar sepi nikmat menusuk kalbu

Tersebab Luka

: yun, ada baiknya luka itu semakin luka agar kenangan begitu kekal dalam ingatan


apakah dirimu benar-benar lupa
ini hari apa. maksudku tanggal berapa
: tanyamu padaku
ketika matahari mengajakku
berangkat lagi mengunjungi suatu negeri

aku tak menjawab
pertanyaanmu itu sesuai keinginanmu
bagiku, hari telah biasa untukmu.
tak ada apa-apa. tak begitu istimewa

entahlah. aku melihat musim
berhasil menutup luka
yang kusimpan di lemari

fotomu yang sempat kubingkai
nampak gemetar. lalu muncullah
ingatan setengah remajaku di sana

ada secangkir es krim meleleh
di bajumu yang berwarna biru
atau setangkau mawar putih
yang kuselipkan secara diam-diam
di blonda rambutmu. ada tanganku
yang meraba kesepianmu
dan bibirku yang keluh mengucapkan sesuatu

mungkin keangkuhanku kepada diammu
terbakar dan tinggallah permenunganku yang usai
terhadap wajahmu

begitulah...seakan asing sendiri
setelah lagu lama itu
terdengar bagai salak anjing
yang menjadikan dirimu enggan
terlelap

(bukan perpisahan kutangisi, tapi pertemuan kusesali)

engkau, yun ! tetaplah bagai burung
bertualang dari rimbun pohon
ke rimbun pohon

aku di sini
mendengar langit berbisik
aku meraba kerumitan tiap lecutan detik

ada kenangan yang meluruskan
kepribadianku. di tengah pertanyaan
yang tak kujawab serius itu

Riwayat Rindu

kenangan yang kau serak di halaman patah sudah. bagai ranting-ranting yang meranggas kala kemarau. gugur perlahan menutupi jendela tempat kau melihat matahari terbenam. saat itu, tanganmu lebih mengerti arah angin yang menuntun langkahku. aku mencium nafasmu melalui nafasku dengan satu tarikan saja.

dan tanganmu menyimpan tangis dalam rencana yang mengisi tapak-tapaku. tanpa kau ungkap padaku sebuah riwayat di mana kau pernah di lahirkan lewat pohon tanpa kisah.

engkau mungkin lebih paham dariku. bagaimana kerinduan datang dengan tiba-tiba begini rupa di antara pesan-pesan tak bernama. ia menolak buku-buku bernuansa prosa. karena yang diinginkannya adalah pertemuan.

tapi kukira biarlah kita dilumatkan kesepian dengan kemenangannya. atau mungkin lebih tepatnya kita dipisahkan selamanya agar rindu mengekal dari naluri kita yang palin dalam. dan kita tak akan takut kepada sunyi selain pertemuan yang akan menghabiskan segala rindu kita.

bukankah engkau pernah mengajariku untuk mencintai rembulan separuh. di situ kesejatian yang kau berikan padaku hanya penyempurnaan di mana kita tak akan pernah menjangkaunya

kukira aku tamat dan tak perlu mengulanginya lagi dari segala ingatan
dan keharusan untuk terus melupakan pertemuan kita yang porak-poranda
dituntaskan oleh remaja.

Lelaplah


- ninabobo buat adikku, cindy

lelaplah dengan mimpi-mimpi
di siang harimu. walau uang saku
selalu saja tak terberi

lupakanlah, segala lelah yang bermula
dari kakimu. sebab tapak-tapak yang kau
jejakkan di tanah, begitu ikhlas mengantarmu
mengejar sekawanan belalang
atau kupu-kupu elok di halaman belakang

suatu ketika kau berteriak
sambil berkacak pinggang
di antara rimbun batang keduduk
kau berseru :
langit berdebar biru !

aku tersenyum menatap wajahmu
yang nampak lusuh
oleh petualanganmu meraih matahari

engkau belum mengenal basa-basi
aku membacanya. membaca puisi
yang berkata lembut. apa adanya
dengan segala kekanakanmu

lelaplah. lelaplah dengan kehidupan yang kau
lewatkan. sebab esok kau akan terbangun melihat
langit benar-benar berdebar biru

dari wajahmu yang paling lugu itu
bunda yang jauh di talang
tak jadi masalah bagimu

engkau mungkin tak mengerti
tentang kata-kata puitis
namun kesehajaan dari kanak-kanakmu
mengajariku untuk lebih paham
arti kejujuran

bila demikian. lelap lebih pulas
aku mengantarmu merayapi kepenatan
kepada tanganku yang akan menjagamu
sampai fajar, esok, dan seterusnya...

Selasa, Agustus 11

Pesan Jauh

selamat malam
wahai buhul angin
yang menetes di
kelekak jendela

kuhantar kau menuju
kejauhan yang berlalu
pada tembok bebal
pada serangkaian gelombang
yang memberatkan mataku
dalam gugusan diam
di negeri orang

kusampaikan aroma sepi
yang berdarah
meleburkan separuh ingatan
yang tak tersampaikan

Kamis, Agustus 6

Isyarat Lalu

teringat yuni

kau tahu
bekuan nafasmu
serupa mayat di atas
geladak ini
takkan mampu
mengembalikan
bayang-bayang dirimu
yang kau tanam
di setiap garis tanganku

dengan cara meniupkan
aroma garam ke bola mata
aku menghadirkan kamu
di pokok pohonan
dan angin desa
maka, tergeletaklah senyummu
yang memar
melalui foto-foto
yang kusimpan di pohon angsana

sementara,aku menuliskan kerinduan
dengan airmata. kertas dan laut
memabukkan kesepian
kemudian di bawah oleh
kapal menuju pelabuhan

Larik Ombak

- tersebab Elida

ombak di alismu
kujelajahi
hingga ke tiang-tiang
tak berwarna di atas
perutnya. namun

patah sebelum tiba
di bibir pantai
dan larut bersama
tiupan garam

angin asin
mengirim
sepotong gumam
di rongga dadaku
seperti kurungan kerang
yang terpelanting
aku kehilangan rumah
dan kesetian

aku tahu, sejenak
di perjalanan
bagiku semacam
kebuntuan dan keterasingan
di sebuah negeri tanpa nama
dan membuatku tersesat
hingga aku dapat
mengeja sendiri
larik yang meluncur
menuju bebatuan.

akulah ikan kecil
yang meloncat ke perahu nelayan
meniduri ombak
meluruskan kesepian
semakin dalam

entah berapa kali lagi
aku dapat mengejar gelombang
dan mendapatkan sepotong
matahari di atas kapal

agar aku menyimpan
seretan nafasmu
di telapak tangan

mungkin pertemuan seperti sirene
jauh itu. begitu sayup untuk dipisahkan